Di sinilah sebenarnya terjadi adu strategi dalam perang yang bertolak belakang. Strategi politik yang dilancarkan oleh Presiden Jokowi adalah ‘memukul rumput dan semak sambil menunggu ular keluar dari sarangnya’. Mari kita tengok drama pencatutan nama Presiden Jokowi dengan hati gembira ria senang sentosa bahagia suka-cita pesta-pora menari menyanyi terbahak selamanya senantiasa selalu.
Rangkaian
perang strategi antara Presiden Jokowi dengan Setya Novanto sungguh
menarik untuk diamati. Sejak bergulirnya peristiwa pencatutan dan
pelaporan, sesungguhnya ada satu mata rantai yang menjadi titik penting
kasus: audit Petral yang jelas menampilkan sosok Muhammad Riza atau Reza
Chalid.
Kementerian
ESDM dan Pertamina yang menjadi pemain dan korban mafia Petral
sekaligus berada dalam posisi sulit. Tekanan publik dan Presiden Jokowi
untuk mengurai Petral membuat gerah baik orang-orang Pertamina dan kroni
mereka di DPR pada masa lalu. Tentu mereka gerah. Kelabakan.
Di
sisi lain, kekuatan mafia migas dan Petral – yang dalam audit menyebut
keterlibatan MR yang jelas Muhammad Riza atau Reza Chalid – jelas akan
menyeret banyak pihak: Pertamina, eks pejabat dan pegawai Petral,
rekanan Petral dan perusahaan bergilir pemenang tender, pejabat BUMN,
ESDM, menteri, dirjen dan aparat birokrasi dan keamanan yang bermain
pada minimal saat rezim SBY. Kondisi ini sangat disadari.
Itulah
sebabnya dalam kesempatan bertemu pejabat Freeport Maroef Sjamsuddin
pun Setya Novanto menggandeng Reza Chalid atau Riza Chalid. Itu
menunjukkan kekuatan baik Chalid maupun Novanto. Hal ini sangat disadari
oleh Sudirman Said dan bahkan Presiden Jokowi.
Bagi
Presiden Jokowi yang tak memiliki hutang masa lalu, persoalan kekuatan
Setya Novanto dan Chalid bukan beban berat. (Yang berat adalah
pembelokan opini untuk tujuan akhir pemakzulan Presiden Jokowi oleh para
mafia dan koruptor yang bermain dengan para politikus korup.) Ucapan
Jenderal Luhut yang tak akan membawa masalah pencatutan namanya ke ranah
hukum – yang dianggap publik lemah dan melemahkan posisinya dan
Presiden Jokowi dan JK – tak bisa dipahami hitam dan putih.
Karena
yang terjadi adalah Sudirman Said dan Rini Soemarno mendorong Pertamina
mengaudit Petral. Dari rekaman yang ada, MKD yang semula menggebu
menggelar rapat terbuka, justru memberikan perlawanan untuk tidak
memroses dan menyidangkan kasus pencatutan nama Presiden Jokowi dan
Wapres Jusuf Kalla oleh Setya Novanto yang dilaporkan oleh Sudirman
Said. Sikap ini disebabkan dalam rekaman tersebut otentisitasnya hampir
sempurna.
Artinya
rekaman yang disampaikan dipastikan asli suara Setya Novanto – meskipun
mengelak dan tak mengakui – Reza Chalid dan Maroef Sjamsuddin. Pun
sumber rekaman secara valid adalah BIN – yang DPR tak mungkin memanggil
atau mengadili anggota BIN yang jelas akan menimbulkan back-clash yang
sangat berat untuk MKD dan DPR. Satu-satunya titik terlemah yang bisa
diserang adalah Sudirman Said yang akan dilaporkan ke Polri oleh Setya
Novanto.
Jadi
mengalihkan kasus pencatutan, keabsahan laporan Sudirman Said, adalah
salah satu cara untuk mengelak proses sidang di MKD. Artinya, bahwa
rekaman tersebut akan menyeret banyak pihak untuk dimintai keterangan.
Yang menjadi masalah adalah dampak dari perlawanan lanjutan yang
dilakukan oleh kedua belah pihak yang berkepentingan dengan dua hal yang
dipertaruhkan:
(1) menyelamatkan audit Petral dan mafia migas,
(2)
menyerang balik Presiden Jokowi. Maka melihat situasi seperti ini,
Presiden Jokowi melancarkan silent operation dengan cara dan strategi
‘memukul semak dan rerumputan sambil menunggu ular keluar dari
sarangnya’. Dengan strategi ini maka bermunculan reaksi dan pernyataan
yang semakin membuat publik bingung. Kini semak telah dipukul, mulailah
tampak keluar ular yang menjadi targetnya. Penerapan strategi ini sangat
dipahami oleh Prabowo – yang sangat berhati-hati dan mengeluarkan
pernyataan normatif.
Pun
Luhut Pandjaitan demikian pula. Nah, yang bersemangat justru Jusuf
Kalla, Sudirman, dll. sebagai ‘alat pemukul semak dan rumput’. Pun Fadli
Zon, MKD, Setya Novanto, dll. pun selain pelawan dan penahan serangan
juga terjebak dalam dan menjadi ‘alat pemukul semak dan rumput’, yang
akhirnya akan menghasilkan: ular keluar dan dipukul.
Aburizal
Bakrie pun menjadi korban pemetaan dan peminjaman dan menjadi korban
sebagai ‘alat pemukul semak’. Kombinasi strategi ‘memukul rumput dan
semak, menunggu ular keluar dari sarang’ dan menggabungkan strategi
‘nabok nyilih tangan’ yang sangat rapi dan dibarengi dengan silent
operation kini akan segera menampakkan hasilnya: ular keluar dan dipukul
yakni dalam bentuk (1) audit Petral tetap jalan dan menangkap mafia
migas, (2) Setya Novanto posisi tetap aman karena pembelokan arah dan
tujuan ‘memukul rumput dan menunngu ular keluar dari sarang, dan (3)
Presiden Jokowi, Luhut Pandjaitan dan Jusuf Kalla tetap sebagai
pemenang.
Jadi,
publik harus melihat drama ini dengan penuh kewaspadaan dan sebaiknya
pernyataan Rizal Ramli tetap menjadi salah satu pegangan: nonton
sinetron. Pun perang opini, dan adu strategi tetap saja yang paling
ampuh adalah ‘memukul rumput dan semak, menunggu ular keluar dan
dipukul’ selain tentu memahami aksi dan reaksi atas silent operation
yang dilancarkan.(Ninoy N Karundeng/KCM)
Sumber : Liputanterkini.net
0 Response to "Alamak! Strategi Jokowi, Pukul Semak, Tunggu Ular Keluar!!! "
Posting Komentar